Sabtu, 26 September 2020

BERANDALIPUTAN/BERITAHALO MATAHARI, BUKAN PERTANDA BENCANA

BERANDALIPUTAN/BERITAHALO MATAHARI, BUKAN PERTANDA BENCANA

Halo Matahari, Bukan Pertanda Bencana

Halo Matahari, Bukan Pertanda Bencana

Warga Kabupaten Malang, Minggu (27/09/2020) siang, dikejutkan dengan sebuah fenomena pelangi mengelilingi matahari. Fenomena yang biasa disebut dengan halo matahari ini terlihat begitu jelas di langit Kabupaten Malang sekitar pukul 09.00

Fenomena langka tersebut langsung menarik perhatian warga. Banyak orang yang menyempatkan diri untuk menyaksikannya. Sebagian juga berusaha mengabadikan peristiwa alam ini dengan menggunakan kamera telepon seluler ataupun kamera digital.

Peristiwa ini juga dialami Warga Yogyakarta, Selasa (4/1/2011) siang, dikejutkan dengan sebuah fenomena pelangi mengelilingi matahari. Fenomena yang biasa disebut dengan halo matahari ini terlihat begitu jelas di langit Yogyakarta sekitar pukul 10.15 hingga 11.15.

Banyak yang terkagum-kagum menyaksikan fenomena alam ini. Namun, tidak sedikit pula yang merasa khawatir, bahkan panik dan menganggap peristiwa ini sebagai sebuah pertanda yang tidak baik. Bagi orang awam, peristiwa ini memang meresahkan karena tidak tahu bahwa hal tersebut sebenarnya sebuah fenomena alam biasa.

Sementara itu, beberapa orang lainnya mengeluhkan silau dan merasa pusing karena memandang secara langsung dengan mata telanjang peristiwa halo Matahari. Benar-benar silau kalau menyaksikannya tidak menggunakan kacamata hitam

Sebuah Fenomena Biasa

 

Prof. Dr. Sudibyakto, M.S., pengamat iklim UGM, menyampaikan fenomena halo matahari adalah fenomena yang biasa terjadi. Fenomena ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa bencana alam, seperti gempa bumi.

 

Halo yang terlihat melingkar matahari merupakan hasil pembelokan cahaya matahari oleh partikel uap air di atmosfer. Halo terbentuk karena dispersi butir-butir es atau air pada awan sirrus oleh sinar ultraviolet.

 

Lebih lanjut dikatakan Sudibyakto, pada saat musim hujan, partikel uap air ada yang naik hingga tinggi sekali di atmosfer. Partikel air memiliki kemampuan untuk membelokkan atau membiaskan cahaya matahari. Karena terjadi pada siang hari saat posisi matahari sedang tegak lurus terhadap bumi, cahaya yang dibelokkan juga lebih kecil. "Itu sebabnya yang tampak di mata masyarakat yang kebetulan menyaksikannya adalah lingkaran gelap di sekeliling matahari, terangnya.

Ditambahkan Sudibyakto, halo matahari sebenarnya sama dengan proses terbentuknya pelangi pada pagi atau sore hari setelah hujan. Lengkungan pelangi sering terlihat di bagian bawah cakrawala karena partikel uap air yang membelokkan cahaya matahari berkumpul di bagian bawah atmosfer. Di sisi lain, pada pagi atau sore hari, matahari pun masih berada pada sudut yang rendah. Pada posisi yang miring ini, kemampuan partikel air membiaskan cahaya lebih besar sehingga warna-warna yang muncul juga lebih lengkap, tambahnya.

Pada siang hari, lanjutnya, saat matahari pada posisi tegak lurus terhadap bumi, kemampuan pembelokan cahaya menjadi rendah sehingga warna yang terlihat sangat terbatas. Warnanya terlihat gelap karena pandangan ke arah matahari juga terhalang debu, sedangkan di pagi hari, saat udara masih bersih, yang tampak adalah warna kemerahan.

Jumat, 17 April 2020

ANTARA CANDRASENGKALA DAN BARCODE JAWA


Candrasengkala
Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya pernyataan dan Sengkala yang artinya angka tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah pernyataan yang berarti angka tahun, pada pengertian Candrasengkala ini kita sebut istilah umum. Candrasengkala terdiri dari dua macam yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala. Suryasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bumi terhadap Matahari (Surya), sebagaai contoh adalah tahun Masehi. Sedangkan Candrasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bulan (Candra) terhadap bumi, sebagai contoh adalah tahun Saka/Jawa dan tahun Hijriyah, sedangkan pengertian Candrasengkala yang ini kita sebut istilah khusus.
Candrasengkala juga disamakan dengan istilah yang lain yaitu Sengkalan yang berarti kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai watak bilangan untuk menyatakan suatu angka tahun. Karena istilah Candrasengkala secara umum sama dengan istilah khususnya, maka untuk istilah umum Candrasengkala pada tulisan ini kita akan menggunakan istilah Sengkalan sedangkan pada istilah khususnya tetap digunakan istilah Candrasengkala. Sengkalan menurut jenisnya dibagi menjadi dua jenis yaitu Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba, hal ini merujuk pada “Keterangan Candrasengkala yang ditulis oleh Raden Bratakesawa. Adapun Sengkalan Memet adalah Sengkalan yang berbentuk gambar, ukiran, relief, patung dan bentuk-bentuk semacamnya yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggal yang berbentuk dua ekor naga besar yang masing-masing ekornya saling membelit. Candrasengkala ini terletak di Regol Kemagangan di Keraton Kasultanan Yogyakarta yang merupakan peringatan tahun berdirinya Keraton tersebut yaitu tahun 1682. Sedangkan Sengkalan Lamba adalah Sengkalan yang berbentuk kalimat yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Surud Sinare Magiri Tunggil sebagai peringatan peristiwa mangkatnya Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana V pada tahun 1750.
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/kraton-kasultanan-yogyakarta2.jpg?w=627
Regol Kemagangan Keraton Kasultanan Yogyakarta, terdapat dua relief ular naga besar yang ekornya disatukan
Pada jaman dahulu masyarakat jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh pada setiap bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. Selain itu pada karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni, lambang/seimbol suatu kota, lembaga atau organisasi, surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun penulisannya.
Sengkalan juga sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan, peringatan kelahiran seseorang, kematian seseorang dan sebagainya. Misalkan pada masa masa akhir Kerajaan Majapahit ditandai dengan Candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menggambarkan runtuhnya Kerajaan besar tersebut pada tahun 1400 Saka. Kemudian juga pada Menara Kudus tertulis Candrasengkala Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609.
Untuk Sengkalan yang bermakna do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat. Suryasengkala tersebut tertulis dalam suatu syair penutup Sekar Pucung di dalam Serat Kamardikan yang selesai ditulis pada tahun 2002 oleh Ciptawidyaka. Dresthi Sirna Nir Sikara menunjukkan angka tahun Masehi 2002. Sedangkan contoh lainnya adalah Candrasengkala Sangsaya Luhur Salira Kang Aji menyatakan tahun 1805 Saka/Jawa yang merupakan ucapan selamat datang yang disampaikan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV kepada Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX. Selain itu juga terdapat pula Candrasengkala Muji Dadya Angesti Sang Prabu menyatakan tahun 1847 yang merupakan tahun penulisan surat balasan KPH Kusumayuda kepada Sampeyan Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Paku Buwana X.
Sebenarnya pada masa sekarang penggunaan Sengkalan dapat sangat luas lagi pemaknaannya, seperti sindiran-sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalkan Sengkalan yang saya buat untuk tahun ini 1945 Saka/Jawa, 1433 Hijriyah dan 2012 Masehi yang bermakna do’a dan harapan. Untuk tahun Jawa Candrasengkalanya adalah Marganing Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat”. Tentu ini saya tujukan untuk mengigatkan pemerintah dan wakil-wakil rakyat bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi manakala pemerintah dan wakil-wakil rakyat yang berpendidikan tersebut menjadi orang-orang yang baik yakni memiliki sifat jujur dan memihak kepentingan rakyat. Sedangkan Candrasengkala tahun 1433 Hijriyahnya dapat dibuat Katon Murub Kartaning Negara yang bermakna “tampak berkobar kemakmuran dan kesejahteraan negara”. Pesannya adalah setelah beliau-beliau yang duduk di pemerintahan (eksekutif) dan perwakilan rakyat (legislatif) tersebut menjadi orang baik dan menjalankan roda pemerintahan yang jujur dan memihak kepentingan rakyat maka akan tampaklah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang semakin berkobar. Namun bagaimana jika ternyata pemerintah dan wakil-wakil rakyat itu berkhianat? jangan khawatir kita sebagai rakyat masih punya senjata pamungkas yang tanpa tanding yaitu Suryaasengkala 2012 Masehi Sikaraning Gusti Sirnaning Dresthi yang bermakna “campur tangan Tuhan berupa peringatan keras atau azab kepada manusia yang jahat akan menghilangkan pengkhianatan yang dilakukan oleh manusia-manusia jahat tersebut”. Tapi tentu ini adalah sesuatu yang berbahaya, oleh karena itu Suryasengkala ini tidaklah perlu digunakan selama manusia-manusia mau “eling lan waspada” dan berbuat baik kepada sesama manusia. Kita simpan saja sebagai pusaka sakti :).
Sejarah Candrasengkala
Sejarah Sengkalan ini dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Ketika itu seorang Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan kemudian menetap di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Aji Saka kemudian bergelar Empu Sengkala. ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Aji Saka memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi dalam hal ini adalah perhitungan tahun atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudia Aji Saka pun kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau Jawa.
Aji Saka membagi perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala yang maknanya seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini. Suryasengkala dipakai oleh masyarakat jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit yaitu antara tahun 700 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi. Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa walisongo diakhir Kerajaan Majapahit dan diawal Kerajaan Demak dengan menggunakan tahun Islam, Hijriyah yang berbasis qomariyah atau perhitungan tahun berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Pada masa Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam, digunakan tahun Saka/Jawa sebagai kalender resmi yang masih dipakai hingga saat ini. Kalender ini merupakan kalender qomariyah yang didasarkan pada perhitungan tahun Hijriyah namun awal tahunnya adalah tahun dimana Aji Saka datang pertama kali di Pulau Jawa dan bukan menurut hijrahnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana tahun Hijriyah.
Penggunaan dan Penurunan Kata
Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta. Menurut pendapat saya, sebenarnya penggunaan kata-kata dalam Sengkalan juga dapat disesuaikan dengan masa sekarang ini didasarkan pada perkembangan budaya maupun ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa tanpa meninggalkan pakem watak bilangan. Misalkan karena mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, maka kata-kata Allah SWT atau Gusti Allah dapat disisipkan sebagai kata serapan untuk Sengkalan. Contoh kata yang lain adalah Wali dari kata waliyyullah atau kekasih Allah SWT yang merupakan ulama tingkat tinggi yang dalam konteks Sengkalan ini sepadan dengan Barahmana. Atau juga kata pandhita bisa juga diganti dengan kata Kyai, Maulana, Syaikh, Habib dan sebagainya. Namun demikian, ini hanyalah merupakan sebuah pemikiran yang kemudian diusulkan. Saya kira kata-kata dari bahasa Arab bisa dimasukkan dalam susunan kata-kata untuk menyusun Sengkalan berdasarkan konsep kata-kata sepadan (Guru Dasanama), sejenis (Guru Warga), sekerja (Guru Karya), sealat (Guru Sarana), dan sekeadaan (Guru Darwa) sebagaimana kata Nabi yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab pada masa Walisongo.
Adapun menyinggung masalah penurunan kata yang sempat saya bahas di atas. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam penurunan kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa Jawa baru atau kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang akan kemudian disepadankan dengan bahasa Sansekerta ataupun kata-kata yang telah diturunkan dalam penyusunan Sengkalan. Menurut Raden Bratakesawa, sebagaimana saya kutip dari laporan skripsi saudari Meirissa Ramadhani ada 8 macam, yaitu:
1.      Guru Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya.
2.      Guru Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah dalam penggunaan Sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski banyak juga Sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah.
3.      Guru Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti: utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.
4.      Guru Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut.
5.      Guru Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakukanya sebuah kata dianggap sama wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata memiliki eatak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.
6.      Guru Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang.
7.      Guru Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
8.      Guru Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang sebenarnya sperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau serasi.
Demikianlah 8 macam ketentuan untuk menurunkan sebuah kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata dalam bahasa baru atau juga ketentuan penyerapan kata dari bahasa lain yang akan disepadankan dengan kata dari bahasa Sansekerta. Namun demikian kita tidak perlu menggunakan 8 macam ketentuan tersebut untuk mencari kata-kata sebagai dasar penyusunan Sengkalan karena itu adalah wilayah para Pujangga, Empu, Sujanma, Pandhita, Resi, Brahmana dan setaranya. Pada tulisan ini kita cukup menggunakan kata-kata yang sudah baku dan itupun jumlahnya sudah cukup banyak. Menurut Ciptawidyaka berikut adalah contoh kata-kata yang sudah biasa digunakan untuk menyusun Sengkalan.
Watak bilangan 0
Kata-kata yang termasuk watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang, habis, langit, dan tidak tampak secara jasmaniyah. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak012.png?w=627&h=484Kata sirna berarti hilang atau habis memiliki watak 0 karena kata sirna dan semua padan katanya berarti kosong.
Watak bilangan 1
Kata-kata yang termasuk dalam watak 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, berjumlah satu baik itu Dzat Tuhan, benda, manusia, binatang, dan makhluk hidup lain serta kejadian alam dan sebagainya. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak11.png?w=627&h=464
Kata Gusti yang berati Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa memiliki watak 1 karena kata Gusti dan semua padan katanya berarti Dzat yang hanya berjumlah satu.
Watak bilangan 2
Kata-kata yang termasuk dalam watak 2 adalah kataa-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak21.png?w=627&h=301Kata asta yang berarti tangan memiliki watak 2 karena tangan manusia berjumlah dua atau sepasang. Demikian juga kata netra yang berarti mata memiliki watak 2 karena mata manusia berjumlah dua atau sepasang. Sedangkan kata Nembah atau menyembah memiliki watak 2 karena ketika seseorang melakukan sembah dalam adat Jawa menggunakan dua tangan.
Watak bilangan 3
Kata-kata yang termasuk dalam watak 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga atau dalam sifatnya berunsur tiga. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak31.png?w=627&h=423Kata Bahni atau geni yang berarti api memiliki watak 3 karena api terjadi karena adanya tiga unsur yaitu: alat pemantik, sarana, dan udara. Pendapat lain tentang api ini adalah karena konon para Brahmana mengklasifikasikan api menjadi tiga macam yaitu: api rumah tangga, api petir, dan api persembahan.
Watak bilangan 4
Kata-kata yang termasuk dalam watak 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empa atau berkait dengan segala sesuatu tentang air. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak41.png?w=627&h=463Kata segara atau laut dikatakan berwatak 4 karena diyakini bahwa air laut berasal dari tampungan empat jenis/sumber air yaitu: air dari mata air, air bengawan, air pancuran, dan air hujan. Adapun kata air sendiri dikatakan berwatak 4 karena kata air diturunkan dari kata warnna yang berarti kasta, sementara itu kasta dalam keyakinan Hindu berjumlah empat.
Watak bilangan 5
Kata-kata yang termasuk dalam watak 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 5. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak51.png?w=627&h=423Kata pandhawa dikatakan berwatak 5 karena jumlah personil dari pandhawa berjumlah lima orang yaitu: Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Watak bilangan 6
Kata-kata yang termasuk dalam watak 6 adalah kata-kata yang memiliki arti enam atau dalam sifatnnya mengandung unsur berjumlah 6 atau juga segala sesuatu yang berkait dengan sifat manis. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak61.png?w=627&h=445Kata Anggana atau lebah dikatakan berwatak 6 karena jumlah kaki lebah berjumlah 6.
Watak bilangan 7
Kata-kata yang termasuk watak 7 adalah kata-kata yang memiliki artti tujuh atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 7. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak71.png?w=627&h=425Kata resi atau pendeta suci dikatakan memiliki watak 7 karena ada anggapan bahwa pada jaman purwa ada tujuh orang pendeta suci yaitu: Resi Kanwa, Resi Parasurama, Resi Janaka, Resi Wasistha, Resi Carika, Resi Wrahaspati, dan Resi Naraddha.
Watak bilangan 8
Kata-kata yang termasuk dalam watak 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan atau adalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 8 atau segala sesuatu yang berkait dengan ular. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak81.png?w=627&h=423Kata basu dari asal kata wasu dikatakan berwatak 8 karena wasu merupakan sebangsa dewa yang berjumlah delapan personil. Sedangkan Bujangga dikatakan memiliki watak 8 karena seorang bujangga atau pujangga harus memiliki delapan kemampuan yaitu: Paramasastra (kemampuan didalam kesusastraan), Paramakawi (kemampuan didalam bahasa kawi), Mardibasa (kelebihan didalam oleh kata), Mardawalagu (kemampuan dibidang lagu-lagu tembang dan gending), Hawicarita (kepandaian didalam bercerita), Mandraguna (berilmu pengetahuan luas), Nawung Krida (kemampuan mengarang/mengubah suatu karya yang memiliki nilai filosofi tinggi), dan Sambegana (kekuatan daya ingat).
Watak bilangan 9
Kata-kata yang termasuk dalam watak 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan atau dalam sifatnya mengandung unsur yang berjumlah 9 atau segala sesuatu yang berkaitan dengan belalang. Contoh:
https://begawanariyanta.files.wordpress.com/2012/04/watak91.png?w=627&h=464Kata lubang dikatakan berwatak 9 karena dalam tubuh manusia memiliki lubang alami yang berjumlah sembilan yaitu: dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, dan satu lubang kelamin.
Penyusunan kata dalan Candrasengkala
Setelah mengenal kata-kata beserta wataknya, maka kita akan dapat membuat Sengkalan. Namun demikian ada beberapa hal penting yang perlu anda ketahui sebelum menyusun sebuah kalimat Sengkalan, yaitu:
1.      Penggunaan kata-kata harus atau sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sudah baku atau biasa digunakan sesuai dengan watak bilangan yang dikehendaki yaitu seperti yang tercantum pada contoh kata-kata di atas dan tidak perlu lagi mencari kata-kata yang aneh.
2.      Struktur katanya dapat berupa kalimat atau sekadar sususunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat.
3.      Makna kalimat atau susunan katanyadapat menggambarakan keadaan tahun yang akan dibuatkan Sengkalan.
4.      Susunan kata atau kalimat dapat berupa berita, pujian, harapan, dan do’a.
5.      Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan.
6.      Susunan kata atau kalimat didalam Sengkalan menunjukkan susunan angka bilangan tahun secara berturut-turut dari kiri ke kanan dengan susunan sebagai berikut:
§  kata pertama menunjukkan angka satuan dari tahun
§  kata kedua menunjukkan angka puluhan dari tahun
§  kata ketiga menunjukkan angka ratusan dari tahun
§  kata keempat menunjukka angka ribuan dari tahun
Setelah kita memahami ketentuan-ketentuan di atas, maka kita akan dengan mudah membuat Sengkalan untuk tahun yang kita kehendaki. Misalkan dalam tulisan ini saya akan membuat Sengkalan untuk memperingati tahun kelahiran seorang teman saya, yaitu:
1.      Seorang teman saya lahir pada tahun 1977 Masehi, beliau adalah seorang aktivis pengajian yang aktif pada berbagai organisasi Islam pada masa mudanya dahulu. Maka Sengkalan yang cocok dan berkait dengan kegiatan teman saya tersebut adalah Suryasengkala Wasitaning Resi Ambuka Budi, disini kata Wasita berwatak 7, kata Resi berwatak 7, kata Ambuka berwatak 9, dan kata Budi berwatak 1. Adapun makna dari kalimat tersebut adalah “nasihat, petunjuk, dan pelajaran dari seorang ahli agama akan membuka pikiran atau pemikiran” (untuk arti perkatanya dapat anda lihat pada tabel-tabel daftar watak bilangan di atas). Jadi pesan dari Suryasengkala ini adalah jika kita mendengarkan petunjuk, nasihat, dan pelajaran dari ahli agama (alim ulama) Insya Allah akan terbuka pikiran kita dari segala sesuatu hal buruk yang menutupinya, sehingga kita akan dengan mudah memperoleh dan menerima ilmu pengetahuan yang otomatis akan meningkatkan wawasan kita. Maka rajin-rajinlah mengaji.
2.      Sengkalan kedua masih berkait dengan Sengkalan di atas karena ini merupakan versi tahun Hijriyahnya, yaitu 1397. Candrasengkala dari tahun tersebut adalah Sabdaning Jawata Wedaning Urip, dimana kata Sabda berwatak 7, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3, dan kata Urip berwatak 1. Adapun makna dari Candrasengkala ini adalah “firman-firman Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Jadi pesan dari Candrasengkala ini adalah pelajarilah kitab suci (dalam hal ini Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat firman-firman Allah SWT yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
3.      Sengkalan yang kertiga juga masih terkait pada kedua Sengkalan di atasnya, terlebih lagi pada Sengkalan kedua, pasalnya Sengkalan ini juga merupakan versi Hijriyah yaitu tahun 1398. Karena saya tidak tahu persis bulan kelahiran teman saya tersebut dan sementara itu pada tahun 1977 Masehi bertepatan dengan dua tahun Hijriyah yaitu 1397 dan 1398 maka untuk “berjaga-jaga” saya juga membuat Sengkalan versi 1398-nya yaitu Esthining Jawata Wedaning Urip, dimana kata Esthi berwatak 8, kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,dan kata Urip berwatak 1. Pada Candrasengkala ini memang kalimatnya sengaja saya buat mirip dan pesannya pun sama yaitu “kehendak Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Pesannya adalah sama yaitu pelajarilah kitab suci (Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat kehendak-kehendak Allah SWT atas segala makhluk khususnya manusia yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
Dari ketiga Sengkalan di atas jelas sekali bahwa sebenarnya antara tahun Masehi, Hijriyah dan bahkan mungkin Saka/Jawa memiliki makna yang identik satu sama lain atau setidaknya dapat dibuat seperti itu. Pada tulisan ini, sebenarnya saya masih ingin memberikan contoh Sengkalan yang lain dari tahun kelahiran teman-teman saya. Namun karena sampai di sini saja tulisan ini sudah sangat panjang maka saya kira tidaklah perlu memuatkan contoh yang lain. Bagaimana dengan anda? anda juga bisa membuat yang lebih bagus lagi, lebih bermakna lagi, tidak hanya untuk memperingati hari kelahiran orang-orang terdekat anda, tapi bisa juga untuk tahun didirikannya perusahaan anda, bangunan rumah, berbagai karya yang telah atau akan anda buat atau segala sesuatu di lingkungan masyarakat anda. Maka ayo kita coba, hitung-hitung melestarikan budaya bangsa, mumpung Malaysia tidak bisa atau belum bisa bahasa Jawa hahaha
Ciptawidyaka. (2009). Mengenal Sengkalanhttp://www.oocities.org/santoso_spuwg/laboratorium.htm. Download Maret 2012. labotaorium.htm –> Anda bisa melihatnya di sini
Meirissa Ramadhani. (2009). Candrasengkala Sebagai Representasi Kebudayaan Keraton Yogyakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital. Download April 2012 . 123482-RB02M109c…pdf –> Anda bisa mendownloadnya di sini dan di sini
Teguh Budi Sayoga (2004). Panduan Pemakaian Hanacaraka Font Untuk Pengetikan Aksara Jawa Pada Perangkat Lunak Komputer Sistem Operasi Window. http://www.hanacaraka_fateback.com. Download April 2012. tutorial_hanacara.pdf & hanacaraka.rar. (khusus untuk penulisan aksara jawa). –> Anda bisa melihatnya di sini


ANGKA DALAM WILANGAN

" LIKUR, SELAWE, SEKET, SEWIDAK"
Dalam Bahasa Indonesia urutan bilangan puluhan diucapkan sebagai berikut:
Dua Puluh Satu, Dua Puluh Dua,...s/d Dua Puluh Sembilan.
Sedangkan dalam bahasa Jawa, urutan bilangan puluhan tidak diucapkan mengikuti format dalam Bahasa Indonesia dimana angka puluhan ditambahkan dengan angka satuannya. Gampangnya, jika 2 dalam Bahasa Jawa disebut Loro, 20 adalah Rongpuluh, jika mengikuti Bahasa Indonesia, maka 22 seharusnya menjadi Rongpuluh Loro. Tapi tidak, dalam Bahasa Jawa, 22 menjadi Rolikur. Selikur untuk 21, Telulikur untuk 23, Papatlikur untuk 24, begitu seterusnya hingga Songolikur untuk 29.
Di sini terdapat satuan LIKUR, yang merupakan singkatan dari LIngguh KURsi, yang artinya adalah duduk di
kursi. Maksud dari frase ini adalah pada usia 21-29 itulah pada umumnya manusia mendapatkan “tempat duduknya”, pekerjaannya, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya; apakah sebagai
pegawai, pedagang, seniman, penulis, dan lain sebagainya.

Namun ada penyimpangan dalam urutan tadi. Bilangan 25 tidak disebut sebagai Limanglikur, melainkan Selawe. Selawe juga memiliki singkatan; SEneng-senenge LAnang lan WEdok. Dimana berarti di umur 25 biasanya adalah puncak asmaranya laki-laki dan perempuan, yang ditandai oleh pernikahan. Maka pada usia tersebut pada umumnya orang menikah.

Bilangan selanjutnya sesuai dengan pola: Telung Puluh, Telung Puluh Siji, Telung Puluh Loro, dan seterusnya. Hingga kemudian terjadi penyimpangan kembali pada bilangan 50. Setelah Sepuluh, Rongpuluh, Telung Puluh, Patang puluh, mestinya Limang Puluh, tapi 50 diucapkan menjadi seket.

Seket juga memiliki singkatan yakni SEneng KEthonan: suka memakai kethu/tutup kepala topi/ kopiah). Tanda usia semakin lanjut, tutup kepala bisa utk menutup botak atau rambut yg memutih. Di sisi lain bisa juga Kopiah atau tutup kepala melambangkan orang yang beribadah. Pesannya adalah pada usia 50 mestinya seseorang lebih memperhatikan ibadahnya. Setelah sejak umur likuran bekerja keras mencari kekayaan untuk kehidupan dunia, sekitar 25 tahun menikah. Kemudian..pada usia 50 harusnya ibadah kita semakin kencang sebagai bekal memasuki kehidupan akhirat.
Tidak berhenti disitu, masih ada satu bilangan lagi, yaitu 60, yang namanya menyimpang dari pola, bukan Enem Puluh melainkan Sewidak atau Suwidak; Sewidak yang juga merupakan singkatan dari SEjatine WIs wayahe tinDAK yang mana artinya: sesungguhnya sudah saatnya pergi. Sudah matang. Siap Inalillah. Dalam artian, bukan berarti di umur 60 ini mutlak akan meninggal, namun siap untuk itu, tidak ada lagi hal yang perlu disesali, tidak ada hal yang masih ingin dikejar karena semua sudah dicapai dan dilakukan dengan baik di umur-umur sebelumnya termasuk bekal akhirat tadi.
Singkatan-singkatan di atas tidak dijelaskan secara histori atau secara ilmiah, namun sarat akan makna kehidupan yang baik. Tidak ada salahnya untuk kita sebagai manusia untuk selalu menyiapkan apapun yang ada di hidup kita demi kehidupan yang lebih baik bagi kita maupun sekitar.