Candrasengkala
Candrasengkala terdiri
dari dua kata yaitu Candra yang artinya pernyataan dan Sengkala yang artinya
angka tahun. Dengan demikian Candrasengkala adalah pernyataan yang berarti
angka tahun, pada pengertian Candrasengkala ini kita sebut istilah umum.
Candrasengkala terdiri dari dua macam yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala.
Suryasengkala adalah Candrasengkala yang digunakan untuk tahun yang
perhitungannya berdasarkan perputaran Bumi terhadap Matahari (Surya), sebagaai
contoh adalah tahun Masehi. Sedangkan Candrasengkala adalah Candrasengkala yang
digunakan untuk tahun yang perhitungannya berdasarkan perputaran Bulan (Candra)
terhadap bumi, sebagai contoh adalah tahun Saka/Jawa dan tahun Hijriyah, sedangkan
pengertian Candrasengkala yang ini kita sebut istilah khusus.
Candrasengkala juga
disamakan dengan istilah yang lain yaitu Sengkalan yang berarti kalimat atau
susunan kata-kata yang mempunyai watak bilangan untuk menyatakan suatu angka
tahun. Karena istilah Candrasengkala secara umum sama dengan istilah khususnya,
maka untuk istilah umum Candrasengkala pada tulisan ini kita akan menggunakan
istilah Sengkalan sedangkan pada istilah khususnya tetap digunakan istilah
Candrasengkala. Sengkalan menurut jenisnya dibagi menjadi dua jenis yaitu
Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba, hal ini merujuk pada “Keterangan
Candrasengkala yang ditulis oleh Raden Bratakesawa. Adapun Sengkalan Memet
adalah Sengkalan yang berbentuk gambar, ukiran, relief, patung dan bentuk-bentuk
semacamnya yang bermakna angka tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah
Candrasengkala Dwi Naga Rasa Tunggal yang berbentuk dua ekor
naga besar yang masing-masing ekornya saling membelit. Candrasengkala ini
terletak di Regol Kemagangan di Keraton Kasultanan Yogyakarta yang merupakan
peringatan tahun berdirinya Keraton tersebut yaitu tahun 1682. Sedangkan
Sengkalan Lamba adalah Sengkalan yang berbentuk kalimat yang bermakna angka
tahun. Contoh dari Sengkalan ini adalah Candrasengkala Surud Sinare Magiri Tunggil
sebagai peringatan peristiwa mangkatnya Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Paku Buwana V pada tahun 1750.
Regol Kemagangan Keraton Kasultanan Yogyakarta, terdapat dua relief ular
naga besar yang ekornya disatukan
Pada jaman dahulu
masyarakat jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai
contoh pada setiap bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan, gapura, tugu, dan
bangunan-bangunan lainnya. Selain itu pada karya-karya sastra jawa, benda-benda
bersejarah, karya seni, lambang/seimbol suatu kota, lembaga atau organisasi,
surat-surat jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau
waktu tahun penulisannya.
Sengkalan juga sering
digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting yang terjadi disuatu
masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap kondisi politik, sosial,
atau juga bermakna do’a harapan, peringatan kelahiran seseorang, kematian
seseorang dan sebagainya. Misalkan pada masa masa akhir Kerajaan Majapahit ditandai
dengan Candrasengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi yang
menggambarkan runtuhnya Kerajaan besar tersebut pada tahun 1400 Saka. Kemudian
juga pada Menara Kudus tertulis Candrasengkala Gapura Rusak Ewahing
Jagad yang menggambarkan kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang
kacau ketika itu yaitu tahun 1609.
Untuk Sengkalan yang
bermakna do’a atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai
contoh adalah Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang
mengandung makna do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap
bangsa Indonesia ini hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut
serta menyusup dan menyebabkan kesengsaraan rakyat. Suryasengkala tersebut
tertulis dalam suatu syair penutup Sekar Pucung di dalam Serat
Kamardikan yang selesai ditulis pada tahun 2002 oleh Ciptawidyaka. Dresthi
Sirna Nir Sikara menunjukkan angka tahun Masehi 2002. Sedangkan contoh
lainnya adalah Candrasengkala Sangsaya Luhur Salira Kang Aji menyatakan
tahun 1805 Saka/Jawa yang merupakan ucapan selamat datang yang disampaikan oleh
Sri Paduka Mangkunegoro IV kepada Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana IX. Selain itu juga terdapat pula Candrasengkala Muji Dadya
Angesti Sang Prabu menyatakan tahun 1847 yang merupakan tahun
penulisan surat balasan KPH Kusumayuda kepada Sampeyan Dalem Kanjeng Sinuhun
Susuhunan Paku Buwana X.
Sebenarnya pada masa
sekarang penggunaan Sengkalan dapat sangat luas lagi pemaknaannya, seperti
sindiran-sindriran yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat
agar tetap konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi
rakyat untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalkan Sengkalan yang saya
buat untuk tahun ini 1945 Saka/Jawa, 1433 Hijriyah dan 2012 Masehi yang
bermakna do’a dan harapan. Untuk tahun Jawa Candrasengkalanya adalah Marganing
Karta Trus dening Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan
berpendidikan dalam hal ini adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat”. Tentu
ini saya tujukan untuk mengigatkan pemerintah dan wakil-wakil rakyat bahwa
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan terpenuhi manakala pemerintah dan
wakil-wakil rakyat yang berpendidikan tersebut menjadi orang-orang yang baik
yakni memiliki sifat jujur dan memihak kepentingan rakyat. Sedangkan
Candrasengkala tahun 1433 Hijriyahnya dapat dibuat Katon Murub
Kartaning Negara yang bermakna “tampak berkobar kemakmuran dan
kesejahteraan negara”. Pesannya adalah setelah beliau-beliau yang duduk di
pemerintahan (eksekutif) dan perwakilan rakyat (legislatif) tersebut menjadi
orang baik dan menjalankan roda pemerintahan yang jujur dan memihak kepentingan
rakyat maka akan tampaklah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang semakin
berkobar. Namun bagaimana jika ternyata pemerintah dan wakil-wakil rakyat itu
berkhianat? jangan khawatir kita sebagai rakyat masih punya senjata pamungkas
yang tanpa tanding yaitu Suryaasengkala 2012 Masehi Sikaraning Gusti
Sirnaning Dresthi yang bermakna “campur tangan Tuhan berupa peringatan
keras atau azab kepada manusia yang jahat akan menghilangkan pengkhianatan yang
dilakukan oleh manusia-manusia jahat tersebut”. Tapi tentu ini adalah sesuatu
yang berbahaya, oleh karena itu Suryasengkala ini tidaklah perlu digunakan selama
manusia-manusia mau “eling lan waspada” dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Kita simpan saja sebagai pusaka sakti :).
Sejarah Candrasengkala
Sejarah Sengkalan ini
dimulai sekitar tahun 70-an Masehi atau abad pertama Masehi. Ketika itu seorang
Raja dari Negara Surati (sekarang masuk wilayah India) yang bernama Jaka
Sengkala atau Aji Saka melarikan diri dari Negaranya akibat kalah perang dan
kemudian menetap di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Aji Saka kemudian bergelar Empu
Sengkala. ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Aji Saka
memperingatinya sebagai tahun 1 Saka yang ditandai dengan kalimat Kunir
Awuk Tanpa Dalu (kunyit busuk tanpa malam). Diceritakan Aji Saka
kemudian menyebarluaskan ilmu astronomi dalam hal ini adalah perhitungan tahun
atau almanak serta berbagai bentuk kesenian. Usaha Aji Saka ini terbukti
berhasil dan menjadi terkenal hingga keluar Pulau Jawa yang kemudian banyak
orang yang berdatangan ke Pulau Jawa hingga beberapa waktu kemudia Aji Saka pun
kembali ke Surati setelah merasa cukup mengajarkan ilmu kepada penduduk Pulau
Jawa.
Aji Saka membagi
perhitungan tahun menjadi dua macam, yaitu Suryasengkala dan Candrasengkala
yang maknanya seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini.
Suryasengkala dipakai oleh masyarakat jawa kuno sampai akhir Kerajaan Majapahit
yaitu antara tahun 700 sampai 1400 Saka atau sekitar tahun 1478 Masehi.
Sedangkan Candrasengkala sendiri kemungkinan baru dipakai oleh masyarakat Jawa
pada masa setelah Islam masuk ke Pulau Jawa yaitu masa walisongo diakhir
Kerajaan Majapahit dan diawal Kerajaan Demak dengan menggunakan tahun Islam,
Hijriyah yang berbasis qomariyah atau perhitungan tahun
berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Pada masa Sultan Agung
yang merupakan Raja Mataram Islam, digunakan tahun Saka/Jawa sebagai kalender
resmi yang masih dipakai hingga saat ini. Kalender ini merupakan kalender qomariyah yang
didasarkan pada perhitungan tahun Hijriyah namun awal tahunnya adalah tahun
dimana Aji Saka datang pertama kali di Pulau Jawa dan bukan menurut hijrahnya
Nabi Muhammad SAW sebagaimana tahun Hijriyah.
Penggunaan dan
Penurunan Kata
Pada awalnya penyusunan
kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat
ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang
diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya
namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa
Sansekerta. Menurut pendapat saya, sebenarnya penggunaan kata-kata dalam
Sengkalan juga dapat disesuaikan dengan masa sekarang ini didasarkan pada
perkembangan budaya maupun ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Jawa tanpa meninggalkan pakem watak bilangan. Misalkan karena mayoritas
masyarakat Jawa beragama Islam, maka kata-kata Allah SWT atau Gusti Allah dapat
disisipkan sebagai kata serapan untuk Sengkalan. Contoh kata yang lain adalah
Wali dari kata waliyyullah atau kekasih Allah SWT yang merupakan ulama tingkat
tinggi yang dalam konteks Sengkalan ini sepadan dengan Barahmana. Atau juga
kata pandhita bisa juga diganti dengan kata Kyai, Maulana, Syaikh, Habib dan
sebagainya. Namun demikian, ini hanyalah merupakan sebuah pemikiran yang
kemudian diusulkan. Saya kira kata-kata dari bahasa Arab bisa dimasukkan dalam
susunan kata-kata untuk menyusun Sengkalan berdasarkan konsep kata-kata sepadan
(Guru Dasanama), sejenis (Guru Warga), sekerja (Guru Karya), sealat (Guru
Sarana), dan sekeadaan (Guru Darwa) sebagaimana kata Nabi yang kemungkinan
diserap dari bahasa Arab pada masa Walisongo.
Adapun menyinggung
masalah penurunan kata yang sempat saya bahas di atas. Ada beberapa ketentuan
yang harus diperhatikan dalam penurunan kata dari bahasa Sansekerta menjadi
kata dalam bahasa Jawa baru atau kata-kata serapan dari berbagai bahasa yang
akan kemudian disepadankan dengan bahasa Sansekerta ataupun kata-kata yang
telah diturunkan dalam penyusunan Sengkalan. Menurut Raden Bratakesawa,
sebagaimana saya kutip dari laporan skripsi saudari Meirissa Ramadhani ada 8
macam, yaitu:
1.
Guru Dasanama atau
dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah sama pula
wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan sebagainya.
2.
Guru Sastra atau dasar
penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah sama pula wataknya
seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah dalam penggunaan
Sengkalan esthi yang dimaksud berarti pemikiran, perasaan dan kehendak meski
banyak juga Sengkalan yang menggunakan esthi tetap bermakna gajah.
3.
Guru Wanda atau dasar
sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah sama pula wataknya
sehingga kita dapat menambahi, mengurangi, maupun menyisipi suku kata seperti:
utawaka menjadi uta karena dikurangi suku katanya. Kemudia kata buja menjadi
bujana karena ditambahi suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi
suku katanya.
4.
Guru Warga atau dasar
sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa adalah sama juga
wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang berarti belut.
5.
Guru Karya atau dasar
sekerja yang berarti cara berlakukanya sebuah kata dianggap sama wataknya
dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau mata
memiliki eatak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah satu
yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.
6.
Guru Sarana atau sealat
yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu adalah sama
wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah adalah alat untuk
pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama dengan pancakarna itu
sendiri atau sama juga dengan kata perang.
7.
Guru Darwa atau
sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang sama adalah
sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api memiliki
watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api memiliki
sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar karena api
juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
8.
Guru Jarwa atau searti
yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir sama adalah sama
pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan dengan arti yang
sebenarnya sperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras atau serasi.
Demikianlah 8 macam
ketentuan untuk menurunkan sebuah kata dari bahasa Sansekerta menjadi kata
dalam bahasa baru atau juga ketentuan penyerapan kata dari bahasa lain yang
akan disepadankan dengan kata dari bahasa Sansekerta. Namun demikian kita tidak
perlu menggunakan 8 macam ketentuan tersebut untuk mencari kata-kata sebagai
dasar penyusunan Sengkalan karena itu adalah wilayah para Pujangga, Empu,
Sujanma, Pandhita, Resi, Brahmana dan setaranya. Pada tulisan ini kita cukup
menggunakan kata-kata yang sudah baku dan itupun jumlahnya sudah cukup banyak.
Menurut Ciptawidyaka berikut adalah contoh kata-kata yang sudah biasa digunakan
untuk menyusun Sengkalan.
Watak bilangan 0
Kata-kata yang termasuk
watak bilangan 0 adalah kata-kata yang memiliki arti kosong, hilang, habis,
langit, dan tidak tampak secara jasmaniyah. Contoh:
Kata sirna berarti
hilang atau habis memiliki watak 0 karena kata sirna dan semua padan katanya
berarti kosong.
Watak bilangan 1
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 1 adalah kata-kata yang memiliki arti satu, tunggal, berjumlah satu
baik itu Dzat Tuhan, benda, manusia, binatang, dan makhluk hidup lain serta
kejadian alam dan sebagainya. Contoh:
Kata Gusti yang berati
Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa memiliki watak 1 karena kata Gusti dan semua
padan katanya berarti Dzat yang hanya berjumlah satu.
Watak bilangan 2
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 2 adalah kataa-kata yang memiliki arti dua atau sepasang. Contoh:
Kata asta yang berarti
tangan memiliki watak 2 karena tangan manusia berjumlah dua atau sepasang.
Demikian juga kata netra yang berarti mata memiliki watak 2 karena mata manusia
berjumlah dua atau sepasang. Sedangkan kata Nembah atau menyembah memiliki
watak 2 karena ketika seseorang melakukan sembah dalam adat Jawa menggunakan
dua tangan.
Watak bilangan 3
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 3 adalah kata-kata yang memiliki arti tiga atau dalam sifatnya
berunsur tiga. Contoh:
Kata Bahni atau geni
yang berarti api memiliki watak 3 karena api terjadi karena adanya tiga unsur
yaitu: alat pemantik, sarana, dan udara. Pendapat lain tentang api ini adalah
karena konon para Brahmana mengklasifikasikan api menjadi tiga macam yaitu: api
rumah tangga, api petir, dan api persembahan.
Watak bilangan 4
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 4 adalah kata-kata yang memiliki arti empa atau berkait dengan
segala sesuatu tentang air. Contoh:
Kata segara atau laut
dikatakan berwatak 4 karena diyakini bahwa air laut berasal dari tampungan
empat jenis/sumber air yaitu: air dari mata air, air bengawan, air pancuran,
dan air hujan. Adapun kata air sendiri dikatakan berwatak 4 karena kata air
diturunkan dari kata warnna yang berarti kasta, sementara itu kasta dalam
keyakinan Hindu berjumlah empat.
Watak bilangan 5
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 5 adalah kata-kata yang memiliki arti lima atau dalam sifatnya
mengandung unsur yang berjumlah 5. Contoh:
Kata pandhawa dikatakan
berwatak 5 karena jumlah personil dari pandhawa berjumlah lima orang yaitu:
Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Watak bilangan 6
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 6 adalah kata-kata yang memiliki arti enam atau dalam sifatnnya
mengandung unsur berjumlah 6 atau juga segala sesuatu yang berkait dengan sifat
manis. Contoh:
Kata Anggana atau lebah
dikatakan berwatak 6 karena jumlah kaki lebah berjumlah 6.
Watak bilangan 7
Kata-kata yang termasuk
watak 7 adalah kata-kata yang memiliki artti tujuh atau dalam sifatnya
mengandung unsur yang berjumlah 7. Contoh:
Kata resi atau pendeta
suci dikatakan memiliki watak 7 karena ada anggapan bahwa pada jaman purwa ada
tujuh orang pendeta suci yaitu: Resi Kanwa, Resi Parasurama, Resi Janaka, Resi
Wasistha, Resi Carika, Resi Wrahaspati, dan Resi Naraddha.
Watak bilangan 8
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 8 adalah kata-kata yang memiliki arti delapan atau adalam sifatnya
mengandung unsur yang berjumlah 8 atau segala sesuatu yang berkait dengan ular.
Contoh:
Kata basu dari asal
kata wasu dikatakan berwatak 8 karena wasu merupakan sebangsa dewa yang
berjumlah delapan personil. Sedangkan Bujangga dikatakan memiliki watak 8
karena seorang bujangga atau pujangga harus memiliki delapan kemampuan yaitu:
Paramasastra (kemampuan didalam kesusastraan), Paramakawi (kemampuan didalam
bahasa kawi), Mardibasa (kelebihan didalam oleh kata), Mardawalagu (kemampuan
dibidang lagu-lagu tembang dan gending), Hawicarita (kepandaian didalam
bercerita), Mandraguna (berilmu pengetahuan luas), Nawung Krida (kemampuan
mengarang/mengubah suatu karya yang memiliki nilai filosofi tinggi), dan
Sambegana (kekuatan daya ingat).
Watak bilangan 9
Kata-kata yang termasuk
dalam watak 9 adalah kata-kata yang memiliki arti sembilan atau dalam sifatnya
mengandung unsur yang berjumlah 9 atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
belalang. Contoh:
Kata lubang dikatakan
berwatak 9 karena dalam tubuh manusia memiliki lubang alami yang berjumlah
sembilan yaitu: dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu
lubang mulut, satu lubang anus, dan satu lubang kelamin.
Penyusunan kata dalan
Candrasengkala
Setelah mengenal
kata-kata beserta wataknya, maka kita akan dapat membuat Sengkalan. Namun
demikian ada beberapa hal penting yang perlu anda ketahui sebelum menyusun
sebuah kalimat Sengkalan, yaitu:
1.
Penggunaan kata-kata
harus atau sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sudah baku atau biasa
digunakan sesuai dengan watak bilangan yang dikehendaki yaitu seperti yang
tercantum pada contoh kata-kata di atas dan tidak perlu lagi mencari kata-kata
yang aneh.
2.
Struktur katanya dapat
berupa kalimat atau sekadar sususunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah
kalimat.
3.
Makna kalimat atau
susunan katanyadapat menggambarakan keadaan tahun yang akan dibuatkan
Sengkalan.
4.
Susunan kata atau
kalimat dapat berupa berita, pujian, harapan, dan do’a.
5.
Meski susunan kata atau
kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya
tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun
bersangkutan.
6.
Susunan kata atau
kalimat didalam Sengkalan menunjukkan susunan angka bilangan tahun secara
berturut-turut dari kiri ke kanan dengan susunan sebagai berikut:
§ kata pertama menunjukkan angka satuan dari tahun
§ kata kedua menunjukkan angka puluhan dari tahun
§ kata ketiga menunjukkan angka ratusan dari tahun
§ kata keempat menunjukka angka ribuan dari tahun
Setelah kita memahami
ketentuan-ketentuan di atas, maka kita akan dengan mudah membuat Sengkalan
untuk tahun yang kita kehendaki. Misalkan dalam tulisan ini saya akan membuat
Sengkalan untuk memperingati tahun kelahiran seorang teman saya, yaitu:
1.
Seorang teman saya
lahir pada tahun 1977 Masehi, beliau adalah seorang aktivis pengajian yang
aktif pada berbagai organisasi Islam pada masa mudanya dahulu. Maka Sengkalan
yang cocok dan berkait dengan kegiatan teman saya tersebut adalah
Suryasengkala Wasitaning Resi Ambuka Budi, disini kata Wasita berwatak 7,
kata Resi berwatak 7, kata Ambuka berwatak 9,
dan kata Budi berwatak 1. Adapun makna dari
kalimat tersebut adalah “nasihat, petunjuk, dan pelajaran dari seorang ahli
agama akan membuka pikiran atau pemikiran” (untuk arti perkatanya dapat anda
lihat pada tabel-tabel daftar watak bilangan di atas). Jadi pesan dari
Suryasengkala ini adalah jika kita mendengarkan petunjuk, nasihat, dan
pelajaran dari ahli agama (alim ulama) Insya Allah akan terbuka pikiran kita
dari segala sesuatu hal buruk yang menutupinya, sehingga kita akan dengan mudah
memperoleh dan menerima ilmu pengetahuan yang otomatis akan meningkatkan
wawasan kita. Maka rajin-rajinlah mengaji.
2.
Sengkalan kedua masih
berkait dengan Sengkalan di atas karena ini merupakan versi tahun Hijriyahnya,
yaitu 1397. Candrasengkala dari tahun tersebut adalah Sabdaning Jawata
Wedaning Urip, dimana kata Sabda berwatak 7,
kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,
dan kata Urip berwatak 1. Adapun makna dari
Candrasengkala ini adalah “firman-firman Tuhan adalah pegangan pokok
kehidupan”. Jadi pesan dari Candrasengkala ini adalah pelajarilah kitab suci
(dalam hal ini Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat firman-firman Allah
SWT yang akan menjadi pegangan pokok dalam kehidupan di dunia ini.
3.
Sengkalan yang kertiga
juga masih terkait pada kedua Sengkalan di atasnya, terlebih lagi pada
Sengkalan kedua, pasalnya Sengkalan ini juga merupakan versi Hijriyah yaitu
tahun 1398. Karena saya tidak tahu persis bulan kelahiran teman saya tersebut
dan sementara itu pada tahun 1977 Masehi bertepatan dengan dua tahun Hijriyah
yaitu 1397 dan 1398 maka untuk “berjaga-jaga” saya juga membuat Sengkalan versi
1398-nya yaitu Esthining Jawata Wedaning Urip, dimana kata Esthi berwatak 8,
kata Jawata berwatak 9, kata Weda berwatak 3,dan
kata Urip berwatak 1. Pada Candrasengkala ini
memang kalimatnya sengaja saya buat mirip dan pesannya pun sama yaitu “kehendak
Tuhan adalah pegangan pokok kehidupan”. Pesannya adalah sama yaitu pelajarilah
kitab suci (Al-Qur’an) karena kitab suci tersebut memuat kehendak-kehendak
Allah SWT atas segala makhluk khususnya manusia yang akan menjadi pegangan
pokok dalam kehidupan di dunia ini.
Dari ketiga Sengkalan
di atas jelas sekali bahwa sebenarnya antara tahun Masehi, Hijriyah dan bahkan
mungkin Saka/Jawa memiliki makna yang identik satu sama lain atau setidaknya
dapat dibuat seperti itu. Pada tulisan ini, sebenarnya saya masih ingin
memberikan contoh Sengkalan yang lain dari tahun kelahiran teman-teman saya.
Namun karena sampai di sini saja tulisan ini sudah sangat panjang maka saya
kira tidaklah perlu memuatkan contoh yang lain. Bagaimana dengan anda? anda
juga bisa membuat yang lebih bagus lagi, lebih bermakna lagi, tidak hanya untuk
memperingati hari kelahiran orang-orang terdekat anda, tapi bisa juga untuk
tahun didirikannya perusahaan anda, bangunan rumah, berbagai karya yang telah
atau akan anda buat atau segala sesuatu di lingkungan masyarakat anda. Maka ayo
kita coba, hitung-hitung melestarikan budaya bangsa, mumpung
Malaysia tidak bisa atau belum bisa bahasa Jawa hahaha
Teguh Budi Sayoga
(2004). Panduan Pemakaian Hanacaraka Font Untuk Pengetikan Aksara Jawa
Pada Perangkat Lunak Komputer Sistem Operasi Window. http://www.hanacaraka_fateback.com.
Download April 2012. tutorial_hanacara.pdf & hanacaraka.rar. (khusus
untuk penulisan aksara jawa). –> Anda bisa melihatnya di sini